Sabtu, 14 Juli 2018

Terungkap !!! Mengapa Pendukung Sepak Bola Sering Bentrok




Tak hanya di Indonesia, bentrok antar pendukung tim sepak bola telah lama menodai persepakbolaan global. Di musim tertentu semisal Piala Dunia, peningkatan kekerasan bahkan telah menjadi masalah internasional. Mengapa ini terjadi?Bandar Bola

Menyelisik sejarah, fenomena kekerasan berjuluk “hooliganisme sepak bola” ini diduga berawal dari Inggris pada abad ke-13. Kala itu, ratusan orang adu otot di lapangan untuk menyelesaikan perselisihan antar desa terkait sepak bola.

Meskipun kemudian regulasi olahraga pada abad ke-19 memberlakukan tata tertib lapangan, nyatanya fenomena itu terus berkembang menjadi masalah sosial kontemporer, yang dengan cepat diidentifikasi bahkan dipolitisasi di negara lain.

“Dari tahun 1960-an hingga 1980-an, kami (melihat) perpindahan dari insiden spontan terkait sepak bola menjadi kejahatan terorganisir,” kata Dr. Steve Frosdick, seorang ahli keselamatan dan keamanan olahraga yang juga menulis soal hooliganisme sepakbola bersama psikolog Peter Marsh.

Menurut hipotesis yang dikemukakan sosiolog Eric Dunning dalam bukunya Sports Matters, perihal atletik adalah salah satu isu utama dalam masyarakat yang sering dikaitkan dengan kubu, agama, etnis, politik, regionalisme, persaingan bersejarah, dan sebagainya.

Artinya, kata Dunning, bila konflik kekerasan terjadi, itu menandakan adanya ekspresi kontras antar populasi.

Penelitian memang menunjukkan bahwa konflik dalam permainan, terutama jika dianggap tidak adil, bisa meningkatkan risiko bentrok antar pendukung. Ini diperkuat faktor sosial psikologi, dominasi, dan konsumsi alkohol.

"Hipotesis Dunning menunjukkan Anda tidak dapat memisahkan kekerasan terkait sepakbola dari situasi yang lebih luas,” jelas Frosdick. Hipotesis itu, sambung dia, sangat pas ketika kita melihat insiden bentrok antar pendukung yang terus berulang.

Salah satu alasan mengapa sepak bola bisa jadi pemicu masalah sosial, tambah Dr. Daniel Wann dari Murray State University, karena para pendukung ini melihat tim kesayangannya sebagai perpanjangan diri mereka sendiri.

Wann memaparkan bahwa intensitas dengan suatu klub tertentu bisa membantu orang menemukan identitas sosial, yang membuat pendukung-pendukung ini merasa dirinya sama penting dengan para pemain.

Bahkan, tanpa perlu terlibat secara intens, pendukung sepak bola “normal” yang sedang berada dalam suatu acara atau komunitas terkait, bisa meningkat emosi dan rasa kepemilikannya. "Penelitian kami menunjukkan bahwa individu dalam kerumunan akan mengalami emosi yang lebih tinggi karena pengalaman bersama," ujar Garriy Shteynberg, psikolog di University of Tennessee.

Alhasil, para pendukung siap melakukan apapun demi kehormatan tim kebanggaannya, sekaligus menganggap kalah dan merugi sebagai ancaman pribadi.

Pendukung seperti itu, kata Paulus Wirotomo, sosiolog dan guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, memiliki kecenderungan perilaku fanatik. Ini umum ditemui pada masyarakat ekonomi kelas rendah. "Biasanya karena orang itu tidak memiliki sumber kebanggaan lain, atau minim prestasi, atau mengalami kekosongan," terangnya.

Perilaku ini lanjut dia, jika didukung teman-teman bernasib sama dalam jumlah besar, apalagi tidak dibina dan diawasi, bisa menjurus ke arah negatif. Misal, bermula dari memanas-manasi untuk menyebar permusuhan kepada pendukung lawan, berlanjut jadi bentrok dan kerusuhan.

Satu studi pernah mengungkap bahwa pendukung yang mencari-cari kesenangan juga bisa mengarah pada perilaku negatif pemicu bentrok. “Orang yang tidak ganas jika berada dalam lingkungan yang salah bisa terbawa menjadi ganas. Ini disebut psikologi massa,” tutur Paulus.

Masalahnya, semua orang suka berkelahi, itu ada dalam DNA kita. Begitu kata ahli saraf R Douglas Fields.

Ia menyebutkan bahwa berkelahi merupakan cara kita bertahan hidup. Bedanya dengan masyarakat purba ataupun hewan, manusia kini lebih cari aman.

Kita mungkin hanya menonton saat ada bentrok, meskipun Fields juga menemukan bahwa manusia yang tenang dan baik sekalipun bisa bertindak sangat agresif di bawah sadar jika keamanannya atau orang terdekatnya terancam.

Ya, bentrok bukan hanya terjadi sebagai ekspresi ketidakmampuan sosial individu yang berasal dari paparan kekerasan dalam rumah tangga atau perilaku disfungsional di masa kanak-kanak. Sebaliknya, ini dipicu dorongan sosial.

Studi bulan Juni 2018 oleh peneliti Oxford menemukan bahwa bentrokan dan juga perilaku ekstrem lain yang dilakukan oleh suatu kelompok, ternyata bukan dilakukan individu semata-mata bagi kepentingan dirinya sendiri.

Akan tetapi bisa juga dimotivasi keinginan untuk memperkuat ikatan dengan pendukung lain dalam satu kubu, juga membela dan melindungi orang lain yang dianggap kawan bahkan keluarga.

Dalam psikologi, itu disebut peleburan identitas-- tindakan ekstrem rela mengorbankan diri demi kelompok, dan juga perlindungan diri dari ancaman, di mana tubuh mengaktifkan mode fight alias siap tempur.

Menariknya, studi yang diterbitkan dalam jurnal Evolution & Human Behavior ini juga mengungkap bahwa pendukung yang paling ekstrem dan gemar bentrok sekalipun, ternyata cenderung menunjukkan kekerasan hanya jika mereka sedang berkelompok, bukan sendirian, apalagi dalam keseharian.

Hasil studi tadi, kata antropolog Martha Newson selaku peneliti utama, menunjukkan bahwa fenomena bentrok bukanlah perilaku acak.Bandar Bola




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 artis4d