Minggu, 12 Agustus 2018

Adakah Ruang untuk Presiden Perempuan Pasca-Megawati?



joko Widodo dan Prabowo Subianto resmi mengumumkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang akan bertarung dalam Pilpres 2019. Didukung PDIP, PPP, Partai Nasdem, PSI, Partai Golkar, PKB, Partai Hanura, Perindo, dan PKPI, Jokowi mengumumkan dirinya berpasangan dengan Ketua MUI, Ma’ruf Amin. Sedangkan Prabowo menggandeng Sandiaga Uno, dengan dukungan Partai Gerindra dan PKS.

BANDARQ Tak ada calon perempuan dalam kontestasi politik kali ini. Padahal Ketua Umum PPP, Romahurmuziy, sempat menyebutkan bahwa ada 10 nama yang menjadi kandidat Cawapres Jokowi. Dua di antaranya perempuan, yakni Sri Mulyani dan Susi Pudjiastuti.

Dua puluh tahun sejak Reformasi bergulir, belum ada kandidat capres dan cawapres perempuan selain Megawati Soekarnoputri. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menyampaikan kepada Tirto bahwa absennya kandidat perempuan dalam bursa pilpres Indonesia disebabkan oleh situasi politik yang belum ramah perempuan.


Titi mencontohkan, dalam pemilihan legislatif partai politik masih terpaksa menjalankan syarat keterwakilan perempuan 30% dalam daftar calon. Sementara dalam kontestasi jabatan kepala negara, partai politik lebih mempertimbangkan kepastian pemenangan.

“Ini terjadi sejak pertama kita pilpres dan diperparah lagi pada 2009, ketika ambang batas parlemen diberlakukan. Ini 'kan memperkecil ruang gerak kontestasi, karena ada pembatasan, yakni kepemilikan 20% kursi, atau 25% suara sah, sehingga yang di bawah itu harus berkoalisi. Ruang perempuan untuk mendapat tiket pencalonan pun semakin berat,” ujar Titi.


DOMINOQQ Menurut Titi, dua orang yang disebut Romahurmuzy, yakni Sri Mulyani dan Susi Pudjiatuti, memiliki kapasitas, kompetensi, dan kredibilitas lebih unggul dibandingkan calon-calon lainnya.

Juli 2018 lalu, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mengeluarkan hasil survei terkait bakal cawapres yang dianggap paling layak mendampingi Jokowi. Nama Sri Mulyani masuk dalam daftar cawapres ideal Jokowi pada bidang ekonomi, dengan dukungan 32,5%, diikuti Susi Pudjiastuti (24,5%), dan Chairul Tanjung (17%).

Selain LSI Denny JA, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) juga pernah merilis kualitas personal sejumlah tokoh menjelang Pilpres 2018. SMRC mengajukan 22 nama tokoh untuk dinilai para responden. Nama-nama itu dipilih berdasar kabar yang beredar di media massa dan informasi awal dari kelompok elite dan pembuat opini. 


BACAJUGA : SANDIAGA RESMI MUNDUR DARI WAGUB
 
Hasilnya, nama Sri Mulyani juga dianggap layak berduet dengan Jokowi. Menggunakan skala 0-10, Sri Mulyani mendapat skor 6,2, di bawah Jokowi, JK, Mahmud MD, dan Airlangga Hartarto dalam penilaian kelompok elite. Namun pada penilaian kelompok pembuat opini, nama Sri Mulyani hanya kalah dengan Jokowi, JK, dan Mahfud MD.

Serba Salah Pemimpin Perempuan

Meski kepemimpinan Megawati tak membawa banyak perubahan bagi nasib perempuan, Titi Anggraeni menilai nama-nama perempuan yang sempat muncul dalam calon potensial pendamping Jokowi adalah perempuan yang dianggap memiliki kompetensi profesional di bidangnya.


“Sebenarnya perempuan itu mampu dan bisa dan sangat bisa. Yang terpenting adalah kesempatan dan ruang yang diberikan. Kalau benar-benar demokratis, perempuan punya kesempatan untuk memenangkan pemilu,” ujarnya.

Menurut studi Anne M. Koenig dkk yang bertajuk “Are Leader Stereotypes Masculine? A Meta-Analysis of Three Research Paradigms” (2011), diketahui bahwa laki-laki cenderung keberatan dipimpin oleh perempuan, sehingga mereka jadi penghambat majunya posisi perempuan, termasuk dalam kontestasi jabatan publik.


AGENPOKERTERPERCAYA

“Keyakinan laki-laki bahwa perempuan tidak memiliki kualitas pemimpin dapat membatasi akses perempuan ke posisi otoritas dan memperlambat langkah mereka untuk memperoleh posisi sebagai pemimpin,” tulis Koenig dkk.


Pernyataan tersebut mengonfirmasi studi yang telah dilakukan Shriley M. Rosenwasser dan Jana Seale pada 1988. Dalam laporan penelitian bertajuk “Attitudes Toward a Hypothetical Male or Female Presidential Candidate - A Research Note”, Rosenwasser dan Seale menunjukkan bahwa kualitas "maskulin" dianggap lebih dibutuhkan dalam tugas kepresidenan, ketimbang kualitas "feminin". "Memberantas terorisme" diasosiasikan dengan kualitas "maskulin". Sementara pelaksanaan kebijakan publik yang pro-kaum miskin diasosiasikan dengan kualitas "feminin". 

Walhasil, seorang perempuan juga bisa punya terpilih karena dinilai punya sisi maskulin. 


BACAJUGA : 7 JANJI JOKOWI UNTUK RELAWAN
 
”Namun, ada kemungkinan bahwa sisi ‘maskulin’ perempuan justru dianggap melanggar norma adat yang ada,” ungkap Rosenwasser dan Seale.


http://aquaqq.com
http://www.bolautama99.comwww.4dartis.net
http://poloqq.org
http://artisqq.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 artis4d