Keluarga Meiliana depresi berat usai kejadian yang menimpa mereka di Tanjungbalai, Sumatera Utara, pada 29 Juli 2016 lalu. Kala itu, sekelompok massa mencoba membakar rumah Meiliana yang mengingatkan soal kencangnya suara azan.Bandar Bola
"Iya, mereka menutupi identitasnya. Bahkan sepanjang persidangan, anak-anak sengaja tidak dibawa ke persidangan", kata pengacara Meiliana, Ranto Sibarani, saat dijumpai Tempo di kantornya pada Jumat, 24 Agustus 2018.
Ranto mengatakan anak-anak Meiliana trauma dan takut bertemu dengan orang ramai. Apalagi selama persidangan banyak orang yang memperlihatkan kebencian kepada sang ibu.
Anak tertua Meiliana, kata Ranto, bahkan berencana memgambil jurusan hukum di universitas. "Anaknya bertekad belajar hukum dan ingin menjadi pengacara bagi orang-orang lemah", sebut Ranto.
Pengadilan Negeri Medan menjatuhkan vonis 18 bulan penjara untuk Meiliana pada Selasa 21 Agustus 2018 lalu. Majelis Hakim yang dipimpin Wahyu Prasetyo Wibowo menyatakan Meiliana terbukti melaggar Pasal 156A KUHP.
Pasal ini berbunyi, "Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp4.500."
Kasus Meiliana berawal saat ia bertanya tentang suara azan di masjid dekat rumahnya yang dinilainya terlalu keras. Sejumlah kelompok masyarakat kemudian menuding Meiliana menghina Islam dengan melarang azan.
Meski dipersidangan bukti-bukti Meiliana pernah melarang azan tidak bisa dihadirkan, namun hakim tetap menyatakan Meiliana bersalah dalam kasus penistaan agama ini.
"Hanya karena mengeluh suara azan dirasakannya terlalu kuat saat itu Meiliana harus menjalani hukuman. Memang dia sempat menyinggung soal suara azan tapi tidak pernah melarang azan berkumandang. Itu dua hal yang berbeda," Kamaluddin Pane, kuasa hukum Meiliana.Bandar Bola
Tidak ada komentar:
Posting Komentar